Menyusuri lensa itu terasa seperti jalan pagi yang berubah-ubah: kadang terang, kadang berkabut, tapi selalu penuh benda-benda kecil yang lucu kalau kita mau memperhatikannya. Saya suka mengawali hari dengan mengecek kamera, mengecek cahaya dari jendela, lalu berpikir, “apa ya yang bisa kubuat hari ini?” Artikel ini bukan tutorial kaku, melainkan obrolan santai tentang teknik fotografi yang sering dipakai, sedikit cerita tentang seniman visual modern yang saya temui, dan beberapa opini pribadi tentang bagaimana karya visual berkembang di era serba digital. Yah, begitulah—mari ngobrol pakai lensa.
Teknik? Mulai dari mana sih?
Bicara soal teknik fotografi seringkali bikin orang kepikiran setting kamera berjam-jam. Padahal, dasar yang paling penting itu adalah komposisi dan niatan. Rule of thirds, leading lines, dan framing itu bukan sekadar jargon; itu cara supaya mata pemirsa mau “tinggal” lebih lama di foto kita. Praktik sederhana: cari satu titik fokus, lalu kurangi gangguan di sekitarnya. Setelah itu, pelan-pelan mainkan ISO, aperture, dan shutter speed untuk mengeksekusi mood yang kita mau—apakah tajam dan klinis, atau lembut dan dreamy.
Cahaya, bayangan, dan semua drama itu
Cahaya adalah bahasa utama fotografi. Pagi hari memberi kontras lembut, sore menghadirkan warna emas yang romantis, sementara lampu neon di malam hari bisa jadi sumber cerita urban. Teknik seperti long exposure bisa membuat air terlihat seperti sutra, sementara backlighting mampu memunculkan siluet dramatis. Untuk mendapatkan bokeh halus, bukalah aperture lebar; untuk menangkap detil arsitektur, kecilkan aperture dan gunakan tripod. Jangan lupa: pemrosesan pasca-jepret juga merupakan teknik—color grading dan dodging/burning bisa mengubah nuansa tanpa mengkhianati momen asli.
Cerita seniman: workshop, kafe, dan karya yang bikin deg-degan
Saya pernah duduk di sebuah kafe sempit di Jakarta, ngobrol sampai larut dengan seorang seniman visual bernama Bayu. Dia bukan sekadar fotografer; dia menggabungkan fotografi dengan lukisan digital dan instalasi proyeksi. Ceritanya tentang prosesnya selalu menarik: kadang dia memotret jalanan saat hujan lalu mencetak foto itu sebagai tekstur, mencampurnya dengan sapuan kuas digital, lalu memproyeksikannya di dinding bertekstur—hasilnya seperti film pendek yang beku. Dia bilang, “karya modern itu lebih soal layering pengalaman ketimbang hanya estetika.” Saya langsung terkesan, dan sejak itu sering mampir ke pameran-pameran kecil yang merekam evolusi idenya.
Di mana karya itu akhirnya ‘tinggal’?
Platform online dan galeri membuat karya visual punya banyak rumah. Beberapa seniman menampilkan prosesnya di media sosial, yang lain memilih pendekatan curated di galeri digital seperti ivisgallery untuk menjangkau kolektor yang lebih fokus. Ada juga yang membiarkan karyanya hidup sementara di ruang publik sebagai mural atau proyeksi—itu selalu terasa raw dan dekat. Menurut saya, tempat pamer memberi konteks: karya yang sama bisa terasa berbeda di feed Instagram dibandingkan saat ditayangkan besar di dinding museum kecil yang remang.
Penutup: Kenapa saya masih memotret tiap pagi
Alasan saya kembali ke lensa setiap pagi sederhana: rasa ingin tahu. Dunia selalu berubah, detail kecil yang kemarin tak terlihat bisa jadi subjek sempurna hari ini. Teknik dan cerita seniman membantu membentuk cara saya melihat, tapi yang paling penting tetap praktik sehari-hari—mencari, gagal, mengulang. Kadang saya mendapat foto yang membuat kening saya berkerut, kadang saya menemukan momen yang membuat saya senyum lebar. Itu proses yang tak pernah membosankan. Yah, begitulah—bagi saya, menyusuri lensa adalah cara saya memahami dunia sedikit lebih baik, satu frame pada satu waktu.